Selamat Datang Di Blognya Ariev & Anick.. Blog Referensi Tafsir Hadits Dan Psikologi..

Sabtu, 03 Januari 2009

Perang Siffin; Tragedi Sengketa Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan

Tragedi Perang Siffin Di Mata Sejarah
Perang Shiffin yang terjadi pada tahun 37 Hijriah (656 Masehi), antara Amirul Mukminin dan Gubernur Suriah, Mu’awiah ibn Abi Sufyan, dilatarbelakangi peristiwa kematian Khalifah ‘Utsman ibn Affan, begitulah sejarah mencatat, namun belakangan diketahui bahwa penyebab utama sebenarnya hanyalah karena Mu’awiyah yang telah lama menjadi Gubernur Suriah yang otonom sejak diangkat Khalifah ‘Umar, tidak mau kehilangan jabatannya itu dengan membaiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib. Ia hendak mempertahankan keutuhan wewenang teritorialnya dengan mengeksploitasi pembunuhan Khalifah ‘Utsman. Fakta tersebut terungkap karena di kemudian hari setelah Muawiyah berhasil mengamankan pemerintahan tidak mengambil suatu langkah nyata untuk membalaskan darah ‘Utsman, dan sama sekali tak pernah berbicara tentang para pembunuh ‘Utsman.
Walaupun Amirul Mukminin menyadari sejak semula bahwa peperangan akan tak terelakkan, ia masih terus berusaha menyadarkan Mu’awiah. Pada hari Senin 12 Rajab 36 H., setelah kembali ke Kufah dari Perang Jamal, Amirul Mukminin mengutus Jarir ibn ‘AbduIlah al-Bajali ke Mu’awiah di Damsyik dengan membawa sepucuk surat di mana ia mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya dan Mu’awiah pun harus membaiat kepadanya dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan ‘Utsman kepadanya supaya Amirul Mukminin dapat menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Tetapi Mu’awiah menahan Jarir dengan berbagai alasan, dan setelah berunding dengan ‘Amr ibn al-‘Ash, ia membangkang dengan dalih kasus pembunuhan ‘Utsman.
Gubernur Suriah itu menahan Jarir dengan dalih untuk memberikan jawaban. Sementara ia mulai menyelidiki sejauh mana rakyat Suriah mendukungnya dengan membangkitkan semangat balas dendam atas darah ‘Utsman, ia bermusyawarah dengan saudaranya ‘Utbah ibn Abi Sufyan. ‘Utbah menyarankan, “Apabila dalam hal ini ‘Amr ibn ‘Ash dihubungi, ia akan menyelesaikan banyak kesulitan dengan kecerdikannya. Tetapi, ia tak akan mudah bersedia untuk menguatkan kekuasaan Anda apabila untuk itu ia tidak dibayari dengan apa yang diinginkannya. Apabila Anda telah bersedia untuk itu maka akan ternyata bahwa dia penasihat dan penolong yang terbaik.
Mu’awiah menyukai saran ini. Ia memanggil ‘Amr ibn ‘Ash lalu membicarakan hal itu, dan akhiraya diputuskan bahwa ia akan menuntut balas atas darah ‘Utsman dengan menuduh Amirul Mukminin bertanggung jawab atasnya. Sebagai imbalan ia akan menjadi Guberaur Mesir, dan bahwa dalam keadaan bagaimanapun ia tak akan membiarkan kekuasaan Mu’awiah di Suriah terganggu. Sesuai dengan itu, keduanya menepati dan memenuhi perjanjian itu.
Dengan Bantuan orang-orang penting di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tak mengetahui persoalan, bahwa tanggung jawab pembunuhan ‘Utsman terpikul pada ‘Ali, dan bahwa Ali memberi semangat dan melindungi para pengepung ‘Utsman. Sementara itu ia menggantungkan baju ‘Utsman yang berlumur darah serta potongan jari-jari istrinya Na’ilah binti al-Farafishah di mimbar mesjid jamik Damsyik di mana sekitar 70.000 orang Suriah berikrar untuk membalaskan dendam atas darah ‘Utsman. Setelah berhasil membangkitkan emosi rakyat Suriah sehingga mereka bertekad bulat untuk mengorbankan nyawa, ia mendapatkan baiat mereka demi membalas dendam atas pembunuhan ‘Utsman, lalu ia bersiap untuk berperang. Sesudah itu ia memperlihatkan semua hal itu kepada Jarir lalu mengirimkannya kembali ke Kufah dalam keadaan malu.
Ketika Amirul Mukminin mendengar tentang hal ini dari Jarir, ia terpaksa bangkit menghadapi Mu’awiah. Ia memerintahkan Malik ibn Habib al-Yarbu’i untuk mengerahkan pasukan di lembah al-Nukhailah. Sehubungan dengan itu, orang dari sekitar Kufah datang ke sana dalam kelompok-kelompok besar sehingga jumlahnya melebihi 80.000 orang. Mula-mula Amirul Mukminin mengirimkan kontingen depan sebesar 8.000 di bawah komando Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi dan pasukan 4.000 orang di bawah pimpinan Syuraih ibn Hani al-Haritsi ke Suriah. Setelah berangkatnya kontingen depan ini, Amirul Mukminin sendiri berangkat ke Suriah memimpin sisa tentara itu, pada hari Rabu 5 Syawal.
Setelah keluar perbatasan kota Kufah, ia mendirikan salat dan setelah berkemah di Dair Abi Musa, (sungai) Nahr Nars, Qubat Qubbin, Babil, Dair Ka’b, Karbala’, Sabat, Baburasini, al-Anbar dan al-Jazirah ia tiba di ar-Riqah. Penduduk tempat ini menyukai ‘Utsman, dan di tempat inilah Simak ibn Makhtamah al-Asadi bertengkar dengan 800 orangnya. Orang-orang itu telah berangkat dari Kufah untuk bergabung dengan Mu’awiah setelah membelot dari Amirul Mukminin. Ketika melihat pasukan Amirul Mukminin, mereka membongkar jembatan Sungai Efrat supaya pasukan Amirul Mukminin tak dapat menggunakannya untuk menyeberang. Tetapi, dengan ancaman Malik ibn al-Harits al-Asytar an-Nakha’i mereka ketakutan, dan setelah berunding di antara sesamanya mereka memperbaiki lagi jembatan itu dan Amirul Mukminin melewatinya dengan tentaranya. Di seberang sungai itu ia melihat Ziyad dan Syuraih sedang berhenti di sana bersama pasukan mereka karena keduanya mengambil jalan darat. Ketika sampai di sana mereka dapati bahwa Mu’awiah sedang maju dengan tentaranya ke Sungai Efrat, dan karena berpikir bahwa mereka tidak akan mampu menghadapinya, mereka berhenti di sana sambil menunggu Amirul Mukminin. Ketika mereka memberikan alasan kepada Amirul Mukminin mengapa mereka berhenti di situ, Amirul Mukminin menerima alasannya lalu mengirimnya ke depan. Ketika mereka sampai di Sur ar-Rum, mereka mendapatkan bahwa Abu al-A’war as-Sulami (pihak Mu’awiyah) sedang berkemah di sana dengan tentaranya. Keduanya melaporkan hal ini kepada Amirul Mukminin, lalu ia mengirim Malik al-Haritsi al-Asytar untuk menyusul mereka sebagai komandan sambil mengingatkannya supaya tidak memulai pertempuran melainkan berusaha menasihati mereka dan memberitahukan kepada mereka keadaan yang sebenarnya sedapat mungkin.
Ketika tiba di sana Malik al-Asytar berkemah agak jauh dari situ. Pertempuran mungkin akan meletus setiap saat, tetapi ia tidak mengganggu pihak lainnya dan tidak pula ia mengambil langkah yang mungkin memulai pertempuran. Tetapi Abu al-A’war menyerang secara tiba-tiba di malam hari yang atasnya mereka menghunus pedang untuk memukulnya mundur. Bentrokan itu terjadi beberapa lamanya tetapi akhirnya Abu al-A’war melarikan diri di malam hari. Karena pertempuran telah dimulai, segera setelah fajar, seorang komandan pasukan ‘Iraq, Hasyim ibn ‘Uqbah al-Mirqal az-Zuhri, datang menghadapinya di medan tempur. Dari pihak lain datang pula suatu kontingen, dan api pertempuran pun berkecamuk. Pada akhirnya Malik al-Asytar menantang Abu al-A’war bertarung dengannya, tetapi yang ditantang ini tak berani menghadapinya dan di sore hari Malik al-Asytar maju.dengan pasukannya. Keesokan harinya Amirul Mukminin sampai di sana dengan pasukannya lalu berangkat ke Shifffn bersama kontingen depannya dan pasukan-pasukan lainnya.
Mu’awiah telah lebih dahulu tiba di sana dan telah mendirikan basisnya. Ia juga telah menempatkan pengawal di Sungai Efrat dan telah mendudukinya. Ketika tiba di sana Amirul Mukminin menyampaikan kepadanya untuk menyingkirkan pasukan pengawalnya dari Sungai Efrat itu, tetapi Mu’awiah menolaknya. Karenanya pasukan ‘Iraq menghunus pedang lalu menyerang dan merebut tempat di sungai itu.
Setelah itu Amirul Mukminin mengutus Basytr ibn ‘Arnr al-Anshari, Sa’id ibn Qais al-Hamdani dan Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi kepada Mu’awiah untuk memperingatkannya tentang akibat-akibat peperangan dan mengajaknya membaiat. Tetapi jawabannya adalah bahwa mereka sama sekali tidak akan mengabaikan darah ‘Utsman dan sekarang hanya pedang yang dapat menjadi perantara mereka.
Akibatnya, dalam bulan Zulhijah 36 H. kedua pihak memutuskan untuk berperang dan para prajurit dari masing-masing pihak keluar untuk berhadapan di medan. Yang memasuki medan dari pihak Amirul Mukminin adalah Hujr ibn ‘Adi al-Kindi, Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi, Khalid ibn al-Mu’ammar, Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi, Ziyad ibn Khashafah at-Taimi, Sa’id al-Hamdani, Qais ibn Sa’d al-Anshari, dan Malik al-Asytar an-Nakha’i. Dari pihak Suriah, ‘Abdur-Rahman ibn Khalid ibn Walid al-Makhzumi, Abu al-A’War as-Sulami, Habib ibn Maslamah al-Fihri, ‘Abdullah ibn Dzil-Kala’ al-Himyari, ‘Ubaidullah ibn ‘Umar ibn Khaththab, Syurahbil ibn Simth al-Kindi, dan Hamzah ibn Malik al-Hamdani.
Ketika bulan Zulhijah berakhir, pertempuran harus dihentikan karena tibanya bulan Muharam 37 H. Tetapi pada 1 Safar pertempuran berlanjut dan kedua belah pihak mengatur barisannya saling berhadapan dengan pedang, lembing dan persenjataan lain. Di pihak Amirul Mukminin, Malik al-Asytar memimpin pasukan berkuda dan ‘Ammar ibn Yasir memimpin pasukan infantri Kufah, sedang Sahl ibn Hunaif al-Anshari memimpin pasukan berkuda dan Qais ibn Sa’d memimpin infantri asal Bashrah. Panji tentara diberikan kepada Hasyim ibn ‘Utbah. Di tentara Suriah, sayap kanan dipimpin Ibn Dzil-Kala’ sedang kontingen sayap kiri dikomandoi Habib ibn Maslamah, pasukan berkuda dipimpin ‘Amr ibn al-‘Ash dan pasukan infantri dikomandoi adh-Dhahhak ibn Qais al-Fihri.
Pada hari pertama, Malik al-Asytar memasuki medan pertempuran dengan pasukannya, sedang di pihak Mu’awiah Habib ibn Maslamah datang dengan pasukannya, dan pertempuran sengit pun berkecamuk sepanjang hari.
Keesokan harinya Hasyim ibn ‘Utbah tampil dengan pasukan di pihak Amirul Mukminin sedang Abu al-A’war muncul dengan pasukan infantri pihak Mu’awiah. Pasukan berkuda berhadapan dengan pasukan berkuda, infantri dengan infantri.
Hari ketiga, ‘Ammar ibn Yasir dan Ziyad ibn an-Nadhr tampil dengan pasukan berkuda dan infantri, sedang pasukan besar pihak Mu’awiah dipimpin ‘Amr ibn al-‘Ash. Ziyad menyerang pasukan berkuda sedang Malik al-Asytar menyerang pasukan infantri Mu’awiah dengan sengitnya sehingga pasukan Mu’awiah mulai kehilangan pijakan, tak dapat bertahan lalu kembali ke perkemahan.
Hari keempat, Muhammad ibn al-Hanafiah tampil di medan dengan pasukannya. Dari pihak Mu’awiah tampil ‘Ubaidullah ibn ‘Umar al-Khaththab dan pertempuran berlangsung keras.
Hari kelima, ‘Abdullah ibn ‘Abbas memimpin tentara Amirul Mukminin sedang Walid ibn ‘Uqbah ibn Abi Mu’ith menghadapinya. ‘Abdullah ibn ‘Abbas melancarkan serangan dengan sangat ulet dan berani dan memberikan pukulan keras sehingga lawannya mundur meninggalkan medan.
Hari keenam, Qais ibn Sa’d al-Anshari rnaju menghadapi pasukan Ibn Dzil-Kala’ dan pertempuran sengit berkecamuk. Banyak tentara gugur pada kedua pihak. Malam memisahkannya.
Hari ketujuh Malik al-Asytar berhadapan dengan Habib ibn Maslamah dan pertempuran berlangsung hingga tengah hari.
Hari kedelapan Amirul Mukminin sendiri maju dengan tentaranya dan serangan dilakukan di seluruh medan pertempuran yang berlangsung amat sengit. Kemudian Amirul Mukminin menantang Mu’awiah, lalu Mu’awiah, disertai ‘Amr ibn al-‘Ash datang agak mendekat. Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Marilah hadapi aku. Biarlah barangsiapa yang membunuh lawannya kelak menjadi penguasa.” ‘Amr ibn al-‘Ash lalu berkata kepada Mu’awiah, “Ali benar. Beranikanlah diri Anda dan hadapilah dia.” Mu’awiah menjawab, “Saya tidak sedia menyia-nyiakan nyawa saya atas godaanmu.” Sambil berkata demikian ia mundur. Ketika Amirul Mukminin melihatnya mundur ia tersenyum lalu mundur pula.
Keberanian Amirul Mukminin dalam serangannya di Shifffn merupakan keperkasaan yang luar biasa. Bila saja ia keluar menantang di medan pertempuran, barisan lawannya menjadi kacau balau, dan bahkan petarung perkasa mengelak untuk menghadapinya. Itulah sebabnya maka dalam beberapa kesempatan ia maju ke medan dengan pakaian yang berbeda agar tidak dikenali lawan, supaya ada yang berani menghadapinya. Sekali ‘Arar ibn Ad-ham dari pihak Mu’awiah bertarung dengan ‘Abbas ibn Rabi’ah ibn al-Harits ibn ‘Abdul Muththalib. Mereka bertarung dengan alot dan tak ada yang jatuh, sampai ‘Abbas melihat bahwa sambungan pada baju zirah lawannya longgar. Dengan pukulan mendadak ia menusuk sisi itu dengan pedangnya, dan kemudian ia menyerang sambungan-sambungan lainnya yang longgar. Kemudian, dengan tujuan yang sebenarnya ia menyerang dengan pedangnya langsung ke dadanya. Melihat ini orang menyerukan takbir. Mu’awiah kaget karena seruan itu dan setelah mengetahui bahwa ‘Arar ibn Ad-ham telah terbunuh, ia lalu berseru meminta siapa yang berani membalaskan dendam kematian ‘Arar itu dengan membunuh ‘Abbas ibn al-Harits. Beberapa orang tentara berkuda yang kelelahan dari kalangan suku lakhm datang menantang ‘Abbas. ‘Abbas mengatakan bahwa ia akan datang setelah meminta izin imamnya, lalu ia pergi kepada Amirul Mukminin untuk meminta izin. Amirul Mukminin menahannya, memakai baju ‘Abbas, dan sambil menunggang kuda tunggangan ‘Abbas ia masuk ke medan pertempuran. Karena mengira dia ‘Abbas, orang-orang Lakhm berkata, “Jadi, Anda telah mendapatkan izin imam Anda.” Sebagai jawabannya Amirul Mukminin membaca ayat,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu. “ (QS. 22:39)
Maka datanglah satu orang dari pihak lawannya sambil berteriak seperti gajah, menyerbu dengan mengamuk, tetapi Amirul Mukminin mengelakkan pukulannya lalu menetakkan pedangnya ke punggung penyerang itu sehingga badannya terputus dua. Mulanya dikira orang bahwa pukulan pedang itu sia-sia, tetapi ketika kuda tunggangannya melompat, tubuh itu jatuh dalam dua bagian. Setelah itu seorang lagi datang tetapi ia pun tewas dalam sekejap. Kemudian Amirul Mukminin menantang orang lain, tetapi dari pukulan pedangnya lawan mengetahui bahwa ialah Amirul Mukminin dalam pakaian ‘Abbas, dan tak ada lagi yang berani menghadapinya.
Pada hari kesembilan, sayap kanan di bawah komando ‘Abdullah ibn Budail dan sayap kiri di bawah pimpinan ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Pasukan di tengahnya dipimpin langsung oleh Amirul Mukminin. Di pihak Mu’awiah Habib ibn Maslamah memimpin pasukan Suriah. Ketika kedua barisan berhadap-hadapan, para pemberani menghunus pedang mereka dan saling menyerang dengan ganas seperti singa buas, dan pertempuran berkecamuk di seluruh medan. Panji sayap kanan tentara Amirul Mukminin berada di tangan Bani Hamdan. Bila seseorang gugur, yang lainnya mengambil panji itu. Pertama-tama Kuraib ibn Syuraih memegangnya. Ketika ia gugur Syurahbil ibn Syuraih mengambilnya, lalu Martsad ibn Syuraih, kemudian Hubairah ibn Syuraih, kemudian Yarim ibn Syuraih, kemudian Sumail ibn Syuraih dan setelah gugurnya keenam orang bersaudara itu, panji dipegang berturut-turut oleh Sufyan, ‘Abd lalu Kuraib, ketiganya putra Zaid, dan semuanya gugur. Setelah itu panji dipegang oleh dua bersaudara, ‘Umair dan al-Harits ibn Basyir, dan setelah keduanya gugur pula, panji itu dipegang Wahb ibn Kuraib. Pada hari ini perhatian lebih besar pasukan Mu’awiah tertuju ke sebelah kanan, dan serangannya demikian sengitnya sehingga pasukan pihak Amirul Mukminin terpukul mundur. Hanya 300 orang yang tertinggal bersama komandannya, ‘Abdullah ibn Budail. Melihat keadaan ini, Amirul Mukminin menyuruh Malik al-Asytar untuk memanggil mereka kembali dan menantang mereka ke mana mereka melarikan diri. “Apabila hari-hari kehidupan telah habis, mereka tak dapat mengelakkan maut dengan melarikan diri.” Sekarang, kekalahan sayap kanan itu pastilah berpengaruh pada sayap kiri. Karena itu Amirul Mukminin pergi ke sayap kiri lalu maju ke depan, memaksa melewati barisan lawan, yang atasnya seorang budak Bani Umayyah berkata kepadanya, “Semoga Allah mematikan saya apabila saya tak dapat membunuh Anda hari ini.” Mendengar ini, budak Amirul Mukminin yang bernama Kaisan melompat kepadanya dan terbunuh olehnya. Ketika mengetahui ini Amirul Mukminin memegang budak Bani Umayyah itu di baju zirahnya, mengangkatnya lalu membantingnya dengan keras sehingga semua persediannya hancur.
Sementara itu, setelah dipanggil Malik al-Asytar dan menggugah rasa malunya, orang-orang yang tadinya mundur lalu kembali dan sekali lagi menyerang hingga musuh mundur sedang mereka maju sampai ke tempat di mana ‘Abdullah ibn Budail sedang dikepung musuh. Ketika melihat orang-orangnya sendiri datang, ia menjadi lebih berani lalu menyerang kemah Mu’awiah dengan pedang terhunus. Malik al-Asytar berusaha mencegahnya tetapi tak berhasil. Setelah membunuh tujuh orang Suriah, ia sampai ke kemah Mu’awiah. Ketika Mu’awiah melihatnya di dekatnya, ia memerintahkan orang melemparinya dengan batu, dan orang Suriah pun mengeroyok dan membunuhnya. Ketika Malik al-Asytar melihat hal itu ia maju dengan para pejuang Bani Hamdan dan Bani Madzhij untuk menyerang Mu’awiah dan mengacaukan para pengawal yang mengelilinginya. Ketika tinggal satu lapis lagi dari lima lingkaran pengawalnya yang harus dipatahkan, Mu’awiah menunggang kudanya untuk melarikan diri, tetapi berhenti lagi setelah diberi semangat oleh seseorang.
Di sisi lain medan, pertempuran gegap gempita sedang berlangsung dari ujung ke ujung oleh pedang ‘Ammar ibn Yasir dan Hasyim ibn ‘Utbah. Dari sisi mana saja ‘Ammar lewat, para sahabat Nabi berkumpul di sekitarnya lalu membuat paduan sedemikian rupa sehingga kehancuran menyebar di seluruh barisan musuh. Ketika Mu’awiah melihat mereka maju, ia mengerahkan pasukan segar untuk menghadapinya. Tetapi ‘Ammar terus menunjukkan kegagahannya dalam badai pedang dan lembing.
Akhirnya Abu al-‘Adziyah al-Juhani mengenainya dengan lembingnya, lalu Ibn Hawi (Jaun as-Saksiki) maju dan membunuhnya. Matinya ‘Ammar ibn Yasir menimbulkan kegemparan di barisan Mu’awiah, karena Nabi telah bersabda, “’Ammar akan terbunuh di tangan kalangan pendurhaka.” Maka sebelum ia gugur sebagai syahid, Dzul Kala’ telah berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Ash, “Saya melihat ‘Ammar di pihak ‘Ali; kitakah orang-orang pendurhaka itu?” ‘Amr ibn al-‘Ash meyakinkan dia bahwa pada akhirnya ‘Ammar ibn Yasir akan bergabung dengan mereka, tetapi ketika ia terbunuh di pihak Ali, pihak pendurhaka terungkap dan tak ada lagi interpretasi lain. Walaupun demikian, Mu’awiah mengatakan kepada orang Suriah, “Kita tidak membunuh ‘Ammar, melainkan Ali membunuhnya karena ia membawanya ke medan pertempuran.” Ketika Amirul Mukminin mendengar kalimat licik itu, ia berkata, “Apabila demikian maka Nabilah yang membunuh Hamzah karena beliau membawanya ke pertempuran Uhud.” Hasyim ibn ‘Utbah juga gugur dalam pertempuran itu. Ia terbunuh oleh al-Harits ibn Mundzir at-Tanukhi. Setelah gugurnya, panji dipegang oleh putranya ‘Abdullah.
Ketika para pejuang yang amat pemberani itu telah tiada, Amirul Mukminin berkata kepada orang suku Hamdan dan Rabi’ah, “Bagi saya, Anda adalah ibarat perisai dan lembing. Bangkitlah dan berilah pelajaran kepada para pendurhaka itu.” Maka 12.000 pejuang dari suku Rabi’ah dan Hamdan bangkit dengan pedang terhunus. Panji dipegang oleh Hudhain ibn al-Mundzir. Ketika memasuki barisan musuh, mereka menggunakan pedang sedemikian rupa sehingga kepala-kepala berjatuhan, tubuh-tubuh bergelimpangan dan di kedua pihak mengalir darah. Dan serangan para jago pedang ini tidak berhenti hingga hari menjelang berakhir dengan segala kehancurannya dan kegelapan turun dibawa oleh malam yang menakutkan yang dalam sejarah dikenal sebagai Malam al-Harir, di mana dencingan senjata, derap kaki kuda dan pekik jerit orang Suriah menimbulkan perhatian sedemikian rupa sehingga suara-suara lain yang sampai ke telinga tak terdengar. Di pihak Amirul Mukminin, slogannya yang menghancurkan kebatilan membangkitkan gelombang keberanian dan keperkasaannya sambil menggetarkan hati musuh. Pertempuran telah mencapai puncaknya. Kantong panah para pemanah telah kosong. Batang-batang lembing telah patah. Pertempuran tangan berlangsung dengan pedang, dan mayat-mayat tertumpuk; menjelang pagi, jumlah yang tewas melebihi 30.000 orang.
Pada hari kesepuluh, orang-orang Amirul Mukminin menunjukkan moral yang sama. Di sayap kanan Malik al-Asytar memegang komando dan di sayap kiri ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Serangan-serangannya berlangsung seperti tentara baru. Tanda-tanda kekalahan nampak pada orang Suriah, dan mereka sudah hendak meninggalkan medan dan melarikan diri. Pada saat itu lima ratus mashaf Al-Qur’an diangkat di ujung lembing tentara Mu’awiah, yang mengubah seluruh wajah pertempuran. Pedang-pedang berhenti bergerak, senjata penipuan berhasil, dan jalan terbuka bagi berkuasanya kebatilan.
Dalam pertempuran ini 45.000 tentara Suriah tewas sementara 25.000 tentara ‘Iraq gugur.
Di antara yang hadir pada perang Shiffin di pihak Amirul Mukminin terdapat 80 orang pahlawan Badr dan 800 yang hadir di Baiat Ridhwan.
Di samping orang-orang yang menonjol dan para sahabat Amirul Mukminin yang terkemuka seperti ‘Ammar, Dzusy-Syahadatain dan Ibn Tayyihan, yang gugur sebagai syahid di Shiffin adalah:
1. Hasyim ibn ‘Utbah ibn Abi Waqqash terbunuh pada hari yang sama dengan ‘Ammar. Ia pembawa panji tentara Amirul Mukminin pada hari itu.
2. ‘Abdullah ibn Budail ibn al-Warqa” al-Khuza’i yang pernah menjadi komandan sayap kanan dan pernah pula sebagai komandan infantri pasukan Amirul Mukminin.

Ketika semangat orang Suriah telah patah oleh pedang-pedang ganas orang ‘Iraq dan serangan-serangan yang tak berkeputusan pada Malam al-Harir menjatuhkan moralnya dan mengakhiri aspirasi-aspirasinya, ‘Amr ibn ‘Ash menyarankan siasat licik kepada Mu’awiah supaya mengangkat mashaf Al-Qur’an di ujung tombak dan berteriak-teriak mendesak untuk menggunakannya sebagai hakam seraya mengatakan, sebagian orang akan berusaha menghentikan peperangan dan sebagian lagi hendak meneruskannya. Dengan demikian maka kita memecah belah mereka dan akan dapat menangguhkan peperangan sampai pada kesempatan lain.” Sesuai dengan saran itu, mushaf-mushaf Al-Qur’an diangkat pada ujung tombak. Hasilnya, sebagian orang yang tak berpikir membuat huru-hara dan berseru serta menimbulkan perpecahan dan kekacauan di kalangan tentara, dan perjuangan kaum Muslim yang terkicuh mereda setelah hampir mencapai kemenangan. Tanpa memahami sesuatu, mereka mulai menjerit-jerit menghendaki keputusan Al-Qur’an atas peperangan.
Melihat Al-Qur’an dijadikan alat siasat licik, Amirul Mukminin mengatakan, “Wahai, manusia. Janganlah kamu terjebak dalam penipuan dan kelicikan ini. Mereka menggunakan rancangan ini untuk mengelakkan aibnya kekalahan. Saya mengenal watak setiap orang dari mereka. Mereka bukan penganut Al-Qur’an dan tidak bertindak menurut perintah Al-Qur’an. Demi Allah, janganlah kamu terjebak dalam tipu daya mereka. Teruskan dengan tekad dan berani, dan baru berhenti setelah mengalahkan musuh yang sedang sekarat.” Namun, siasat licik kebatilan telah bekerja. Orang-orang itu mengambil sikap membangkang dan memberontak. Mis’ar ibn Fadaki at-Tamimi dan Zaid ibn Husain ath-Tha’i, masing-masing dengan pasukan sebesar 20.000 orang, menghadapi Amirul Mukminin seraya berkata, “Hai ‘Ali. Apabila Anda tidak menyambut seruan Al-Qur’an, kami akan memperlakukan Anda seperti kami memperlakukan ‘Utsman. Segeralah akhiri pertempuran, dan tunduklah kepada keputusan Al-Qur’an.”
Amirul Mukminin berusaha sekuat kuasanya untuk menyadarkan mereka, tetapi iblis telah berdiri di hadapan mereka berjubahkan mashaf Al-Qru’an. Ia tidak mengizinkan mereka untuk berbuat demikian, dan mereka memaksa Amirul Mukminin mengutus seseorang untuk memanggil Malik ibn Harits al-Asytar dari medan pertempuran. Karena terpaksa, Amirul Mukminin mengirim Yazid ibn Hanif’ memanggil Malik.
Ketika Malik mendengar perintah ini, ia menjadi bingung, seraya berkata, ‘Tolong katakan kepadanya, ini bukan saat untuk meninggalkan posisi. Ia boleh menunggu sebentar saat saya menghadapnya dengan berita kemenangan.” Ibn Hani’ menyampaikan pesan itu sekembalinya, tetapi orang-orang berteriak bahwa tentulah Amirul Mukminin telah menyampaikan pesan rahasia kepadanya. Amirul Mukminin mengatakan bahwa tak ada kesempatan baginya untuk menyampaikan suatu pesan rahasia. Segala yang dikatakannya dilakukan di hadapan mereka.
Orang-orang itu mengatakan bahwa Ibn Hani’ harus diutus lagi, dan apabila Malik menunda kedatangannya maka Amirul Mukminin akan kehilangan nyawa. Amirul Mukminin menyuruh lagi Ibn Hani dan menyampaikan pesan bahwa telah terjadi pemberontakan; ia harus kembali dalam keadaan bagaimanapun. Maka Ibn Hani’ pergi lagi lalu mengatakan kepada Malik, “Apakah Anda lebih mencintai kemenangan atau nyawa Amirul Mukminin? Kalau nyawanya lebih Anda cintai, Anda harus melepaskan tangan dari pertempuran lalu pergi kepadanya.” Dengan meninggalkan kesempatan untuk menang, Malik berangkat menghadap Amirul Mukminin dengan sedih dan kecewa. Kekacauan pun berkecamuk. Ia membantah orang-orang itu dengan sangatnya, tetapi mereka tak dapat diperbaiki lagi.
Maka diputuskanlah bahwa setiap pihak harus menunjuk seorang hakam supaya mereka menyelesaikan persoalan kekhalifahan itu menurut Al-Qur’an. Dari pihak Mu’awiah telah diputuskan ‘Amr ibn ‘Ash. Dari pihaknya, orang-orang itu mengajukan Abu Musa al-Asy’ari. Melihat pilihan yang salah ini, Amirul Mukminin mengatakan, “Karena Anda tidak menerima pendapat saya tentang tahkim, sekurang-kurangnya sekarang Anda menyetujui untuk tidak mengangkat Abu Musa sebagai hakam. Ia bukan orang yang amanat. Di sini ada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, dan di sini ada Malik al-Asytar. Pilihlah seorang di antara mereka.” Tetapi, mereka tak mau mendengarkannya, dan bersikeras pada Abu Musa. Amirul Mukminin akhirnya mengatakan, “Nah, Iakukanlah sesuka Anda. Tidak lama lagi Anda akan memakan tangan Anda sendiri karena kebatilan Anda.”
Setelah pengangkatan hakam, setelah surat persetujuan ditulis, imbuhan “Amirul Mukminin” pada nama ‘Ali ibn Abi Thalib juga tertulis. ‘Amr ibn ‘Ash mengatakan, “Ini harus dihapus. Apabila kami memandangnya sebagai Amirul Mukminin, mengapa peperangan ini harus dilakukan?” Mula-mula Amirul Mukminin menolak untuk menghapusnya, tetapi setelah mereka sama sekali tak mau menerima, ia menghapusnya seraya mengatakan, “Peristiwa ini sama dengan peristiwa di Hudaibiah, ketika orang-orang kafir bersikeras bahwa kata ‘Rasulullah’ bersama nama Nabi Muhammad harus dihapus, dan Nabi menghapusnya.” Mendengar ini ‘Amr ibn ‘Ash marah dan mengatakan, “Apakah Anda memperlakukan kami sebagai orang kafir?” Amirul Mukminin berkata. “Pada hari apa Anda mempunyai suatu hubungan dengan kaum mukmin dan kapan Anda telah menjadi pendukung mereka?”
Bagaimanapun, setelah penyelesaian ini, orang-orang bubar. Setelah bermusyawarah, kedua hakam memutuskan bahwa dengan menyingkirkan ‘Ali maupun Mu’awiah dari kekhalifahan, rakyat akan diberi hak memilih siapa saja yang mereka sukai.
Ketika tiba saat pengumumannya, diadakan suatu pertemuan di Daumatul Jandal. Yang terletak antara ‘Iraq dan Suriah, kemudian kedua hakam itu tiba pula di sana untuk memaklumkan keputusan tentang nasib umat Islam. Secara licik, ‘Amr ibn ‘Ash berkata kepada Abu Musa, “Saya merasa tak pantas mendahului Anda. Anda lebih tua dalam tahun dan usia, karena itu Andalah yang mula-mula menyampaikan maklumat itu.” Abu Musa menyerah pada kata-kata pujiannya lalu keluar dengan bangganya serta berdiri di hadapan hadirin. Kepada mereka ia berkata, “Wahai kaum Muslim, kami telah besama-sama menyelesaikan bahwa ‘Ali maupun Mu’awiah harus dimakzulkan dan hak memilih khalifah diserahkan kepada rakyat. Mereka akan memilih siapa saja yang mereka kehendaki.” Setelah mengatakan ini, ia duduk.
Sekarang giliran ‘Amr ibn ‘Ash, lalu ia berkata, “Hai, kaum Muslim. Anda telah mendengar bahwa Abu Musa telah menyingkirkan ‘Ali ibn Abi Thalib. Saya pun menyetujuinya. Tentang Mu’awiah, tidak ada persoalan akan menyingkirkan dia. Karena itu saya tetapkan dia pada kedudukan itu.”
Setelah ia mengatakan ini, serentak terdengar teriakan di mana-mana. Abu Musa berteriak sekuat-kuatnya bahwa itu tipu daya licik, seraya mengatakan kepada ‘Amr ibn ‘Ash, “Engkau telah menipu, dan ibaratmu adalah seperti anjing yang apabila kau mati sesuatu ia akan menjulurkan lidah, apabila engkau tinggalkan ia akan menjulurkan lidah.” ‘Amr ibn ’Ash menjawab, “Ibaratmu adalah seperti keledai yang dimuati buku.” Bagaimanapun, siasat licik ‘Amr ibn ‘Ash efektif dan kaki goyah Mu’awiah dikuatkan kembali.
Inilah ringkasan riwayat Tahkim yang dasarnya dilandaskan pada Al-Qur’an dan sunah. Tetapi, apakah itu keputusan Al-Qur’an, ataukah itu hasil tipu daya licik yang selalu digunakan manusia duniawi untuk mempertahankan kekuasaan mereka? Dapatkah lembaran-lembaran sejarah ini dijadikan obor penyuluh bagi masa depan? Pantaskah Al-Qur’an dan sunah digunakan sebagai alat untuk keuntungan untuk mendapatkan kekuasaan duniawi?

Relita Kerancuan Sejarah
Adanya realita sejarah perang Shiffin memang tidak bisa dipungkiri. Namun yang tidak benar adalah analisanya selama ini yang 100% versi orientalis. Sayangnya, sejarah yang kita baca, bahkan yang diajarkan di mata kuliah peradaban Islam di berbagai Universitas Islam di negeri ini justru versi tersebut.
Akibatnya, sejarah Islam yang gemilang itu tampil dengan wajah menyeramkan, beraroma anyir darah, sadis dan menjijikkan. Terutama wajah para sahabat nabi SAW, yang muncul tidak ubahnya seperti srigala liar kehausan darah dan kekuasaan. Padahal Al-Quran telah menyebut mereka para sahabat sebagai orang-orang yang diridhai.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”.
Analisa sejarah yang kita punya tidak pernah lepas dari apa yang ditulis oleh musuh Islam. Dan kesimpulan versi mereka, bahwa rusak dan pecahnya umat Islam ini berasal dari generasi sahabat. Karena ini sangat berbahaya sekali. Kalau kita pakai logikanya, seandainya generasi yang paling baik dari umat ini sudah dianggap menyeleweng, bagaimana dengan generasi berikutnya?
Padahal generasi para sahabat itu adalah generasi yang langsung dibina oleh tangan Rasulullah SAW, dengan keringat, airmata dan darah beliau. Bahkan Rasulullah SAW telah ridha atas mereka dan mereka ikut bersama dakwah Rasulullah bukan sebulan atau dua bulan, tapi banyak dari mereka yang sejak masa awal turunnya wahyu dibina langsung oleh manusia paling mulia di dunia ini
Yang kita baca sebenarnya bukan sejarah, melainkan opini orang kafir. Dan opini itu ibarat belati bermata dua. Di satu sisi seolah menawarkan studi kritik sejarah yang seolah ilmiyah dan histioris, namun di belakangnya ada mata pisau yang tajam itu siap menghujam aqidah dan fikrah umat Islam.
Sayangnya, `studi historis'' seperti inilah yang justru dilakukan oleh sebagian kalangan yang akrab dengan dunia kampus, sebagiannya bahkan menyandang gelar akademis yang lumayan, sebagian bahkan menyebut diri sebagai ''mujaddid''. Sayangnya lagi, di balik analisa itu ada sebuah cacian yang mereka bungkus dengan ungkapan ''kritik historis''atau ''kritik ilimyah''.
Misalnya kasus tahkim (baca; arbitrase), kasus ini paling sering diangkat untuk menjatuhkan dan mencaci maki sebagian sahabat serta untuk mendiskreditkan mereka. Sayangnya, hampir semua kritik sejarah ini mengacu hanya sampai analisa para mustasyriqin (orientalis) yang penuh dengan bumbu prasangka buruk.
Sedangkan sumber sejarah Islam yang paling asli dan merupakan sebuah report yang paling valid dan dipercaya, hampir-hampir tidak pernah disentuh. Jadi analisa itu tidak lebih hanya nukilan dari nukilannya nukilan nukilan. Mereka yang mengangkat diri sebagai kritikus sejarah itu, justru sama sekali belum pernah membaca literatur asli dari peristiwa di masa sahabat itu, bahkan menyentuhnya pun belum pernah.
Akhirnya semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari fakta, realita dan kenyataan sejarah yang sesungguhnya


Daftar Pustaka
Muhammad b. Sa'd, “Al-Tabaqat al-Kubra”. Brill, Leiden, ed. Edward Sachau. 1904 – 1921. Cet III
Muhammad Husein Haikal, “Sirah Nabawiyah”. Mesir; 1999. Dar el-Hikmah. Transferred to Ebook Geocitis.com / isnani.com
Al-Thabari. “Tarikh al-Thabari”. Jeddah; 1996. Dar al-Nasyr wa al-Tauzi’.

0 komentar: